Ilustrasi “Rotasi” Dzulfahmi bersama Tuan Tigabelas (sumber: dokumentasi pribadi)

Dzulfahmi seperti bermain lego dalam estetika diksi, membangun sebuah istana mimpi hingga mampu berdansa dalam manis-pahitnya kehidupan. Semakin matang ia berkarya, semakin paham bahwa karyanya adalah cermin yang selalu menemani kita setiap waktu. Cara Dzulfahmi dengan merangkai potongan kata demi kata hingga kisah demi kisah layaknya melihat seorang pedagang bunga sedang merangkai dagangannya.

Ketika kita sedang jatuh cinta atau berdukacita, sering kali diidentikan dengan pemberian rangkaian bunga sebagai simbol rasa sayang, baik kebersamaan maupun perpisahan. Dalam perspektif ini, kita bisa melihat sosok Dzulfahmi layaknya seorang perangkai bunga handal yang memberikan hasil rangkaiannya untuk menyampaikan serpihan kehidupan, baik dalam kebersamaan maupun perpisahan.

Dzulfahmi mencoba merekonstruksi cintanya atas kehidupan ibu kota dalam setiap rilisan karyanya, meskipun kisahnya tidak seindah lukisan Monet dan kisahnya tidak sekelam kisah Beethoven. Namun, flow-nya merupakan sebuah abstraksi dari rangkaian kegundahan dari imajinasinya.

Apakah kita hanya melihat dunia dalam kegundahan? Seperti yang dikatakan oleh R.A Kartini, “Habis gelap terbitlah terang,” itu benar adanya. Dzulfahmi bersama Tuan Tigabelas mencoba mempertanyakan kembali arti pernyataan tersebut dalam tembang rilisan “Rotasi” pada Jumat, (6/5). Mereka mencoba memperkenalkan sebuah perspektif baru mengenai arti dari konsep yang diutarakan oleh R.A. Kartini.

Seperti ketertarikan mayoritas perempuan dengan kultur K-pop, ketertarikan Dzulfahmi dengan kultur Hip-Hop tidak bisa terlepaskan. Di dalam sebuah interview, Dzulfahmi mengatakan bahwa kehadiran Hip-Hop dapat mengangkat hal-hal yang bersifat personal, tetapi bisa bragging-in diri sendiri hingga rapper lain.

Sebut saja, ia sedang berusaha membuktikan kepada dirinya sendiri untuk bisa lebih meningkat dari sebelumnya. Persona yang tercipta dalam rilisan “Rotasi” begitu berkembang dalam merekonstruksi musikalitasnya. Memang terlihat personanya begitu sederhana, tetapi sekali berucap layaknya gerhana di penghujung malam. 

Impresi yang terlihat ketika mendengarkan “Rotasi” adalah mencoba menjiwai peran kehidupan Ibu Kota, dimana kehidupan tidak seindah warna-warni lampu pencakar langit di malam hari.  Mungkin Hip-Hop Ibu Kota tidak semua berbicara soal pamer harta dan wanita, tetapi mengingatkan pahitnya kehidupan itu seperti kerasnya bantingan dari seorang petarung UFC, layaknya Khabib Nurmagomedov.

Dzulfahmi dan Tuan Tigabelas memiliki persamaan dalam kaidah penulisan lirik, di mana mereka saling mengutamakan punchline yang menarik dan menggigit. Contohnya seperti “Kerasnya kota Jakarta berikan les privat/Harus berlari cepat, tak boleh telat,” bagian Tuan Tigabelas dalam rilisan “Rotasi”. Terlihat begitu singkat, tetapi terdengar catchy saat di lantunkan. 

Seni estetika pemilihan kaidah diksi yang dilakukan oleh Dzulfahmi terinspirasi dari rapper-rapper ternama, seperti Eminem, dan permainan PS2 “Def Jam: Fight For NY.” Jadi, tidak bisa disepelekan bahwa kecintaan dan dedikasinya terhadap kultur Hip-Hop sudah menjadi darah dagingnya sendiri.

Dzulfahmi sempat menyebutkan bahwa kegemarannya dalam merekonstruksi musik klasik menjadi sebuah musik modern, hal ini dinamakan dengan sampling. Kegemaran Dzulfahmi seperti melihat adegan dalam serial dokumenter dari Kanye West, “Jeen-Yuhs” (2022) di Netflix. Berdasarkan serial tersebut, Kanye tumbuh menjadi seorang produser di Kota Chicago dan bermigrasi ke New York dengan modal hasil penjualan beat-nya kepada rapper lokal. Sebagian besar karya dari Kanye merupakan hasil dari rekonstruksi musik klasik sebagai pondasi lagunya, sama seperti yang dilakukan oleh Dzulfahmi.

Terdengar begitu puitis dan lyrical, sebagian besar karya dari rapper-rapper yang ada memang kebanyakan mengambil dari hasil rekonstruksi musik klasik. Sehabis itu, ia hanya menambahkan bumbu dari instrumen drum “boom-bap” dan terjadilah hasilnya sesuai keinginannya. Jarang sekali, rapper Indonesia mengambil genre “Trap Hip-Hop” atau “Mumble Rap”, mayoritas lebih memilih untuk menggunakan “boom-bap” karena suasana yang dihasilkan dapat bercerita lebih menyeluruh.

Menurut saya, bagian terhebat dari lagu ini terletak pada penggalan lirik menjadi pengingat kepada para pendengar ketika melakukan sesuatu. “Mentari muncul dari timur/Tuhan terimakasih telah beri aku umur/Sebelum nanti kembali ke dalam liang kubur/Biarkan aku sekarang menghembuskan rasa syukur,” lantun Dzulfahmi pada verse awal. Bagi saya, penggalan lirik ini dapat menjadi pegangan kepada para pendengar untuk selalu mengucap syukur atas segala sesuatu yang ada di dalam kehidupan ini.