Musik memang milik semua orang. Milik mereka yang menjadikannya menjadi karir, atau mereka yang rela berkorban demi menjadikannya sebuah hobi. Mereka yang senang berkarya, atau mereka yang senang menikmati. Mereka yang memilih menyempatkan diri untuk bisa mengasingkan diri dari hiruk pikuk kehidupan didalam sebuah ruangan dengan alat perekam, alat musik, dan secarik kertas yang berisikan inspirasi yang sudah mereka susun dengan usaha yang sulitnya setengah mati, atau mereka yang dalam melaksanakan keseharian harus menyumbat kedua telinga mereka dengan penyuara kuping untuk mendengar musik dari akun Spotify premium hasil menghemat uang makan bulan ini.
Akhir-akhir ini, saya sebagai seorang penikmat musik beraliran R&B serta Hip Hop melihat adanya perkembangan karya-karya musik dari Asia dalam aliran tersebut. Munculnya musisi dibawah 88rising seperti Rich Brian, NIKI, Higher Brothers, kemudian DEAN dari korea selatan, alextbh dari malaysia, A. Nayaka serta Emir Hermono dari Indonesia. Musisi-musisi ini sudah mulai bisa diterima karyanya di khalayak banyak, seperti Rich Brian yang sudah melaksanakan tour ke banyak titik dalam peta dua tahun belakangan, DEAN yang berhasil menaiki tangga popularitas dimuka umum dengan berkolaborasi bersama Syd dari The Internet, dan Emir Hermono yang namanya sering muncul di pamflet beragam acara sebagai penampil di Indonesia maupun Malaysia.
Ada satu kesamaan yang dapat ditemui dari musisi-musisi tersebut. Meskipun mereka berasal dari Asia, karya mereka yang dapat diterima oleh khalayak umum bahkan mereka yang merupakan bagian dari masyarakat Asia sendiri adalah karya yang menggunakan bahasa Inggris. Apakah penggunaan kosa kata dari kamus tersebut memberikan nilai lebih kepada sebuah karya musik?
Jika kamu mengenali DEAN, pasti yang terlintas adalah lagu miliknya yang berjudul “love” atau “Put My Hands on You”. Kedua lagu tersebut sering saya jumpai diputar di tempat umum beberapa kali. Padahal, lagu-lagu miliknya yang menggunakan bahasa Korea juga tidak kalah bagusnya. Lagu berjudul “instagram” yang baru saja ia rilis bulan Desember lalu berhasil menguasai beberapa chart musik ternama di Korea Selatan. Tapi, karyanya yang tersebut kebanyakan hanya diterima oleh masyarakat lokal Korea Selatan sendiri dan komunitas kecil diluar Korea Selatan berisi orang-orang yang memang mengikuti perkembangan musik milik DEAN.
Saya sendiri pada awalnya tidak mengerti keseluruhan cerita yang disampaikan dari lagu “instagram”, tetapi ia berhasil membuai telinga saya dengan ciri khasnya dalam memproduksi lagu yaitu menambahkan detail kecil seperti sound effect yang menjadi pendukung dalam mewujudkan suasana mendayu yang berusaha ia sampaikan dalam lagu tersebut. Tanpa mengerti bahasa yang digunakan dalam lagu tersebut, saya berhasil menangkap bahwa ia ingin membuat pendengar merasa seakan sedang merenung sendirian. Bait yang saya mengerti dari lagu tersebut hanyalah “lonely, lonely, so lonely”, namun hati saya ikut merasa kesepian seakan mengerti keseluruhan dari lagu tersebut. Karena zaman sudah canggih, melalui internet saya bisa menemui orang-orang yang berbahasa Inggris dan berbahasa Korea menjelaskan makna dari lagu tersebut, yaitu cerita mengenai bagaimana semua orang berusaha menunjukan kehidupan yang sempurna di Instagram, membuat kita merasa semakin kesepian dan tertekan karena merasa tidak sebahagia dan tidak se-sempurna hidup orang lain yang dilihat saat sedang meng-scroll feed Instagram kita setiap harinya. Makna dari sebuah lagu tidak melulu harus didapat dengan cara membaca liriknya baris perbaris ternyata, dan tanpa mengerti bahasa yang diucapkan makna masih bisa menyentuh hati pendengarnya. Sayang, orang-orang yang memiliki selera musik eksklusif akan gatal untuk menekan tombol skip saat mendengar lagu dari DEAN yang tidak berbahasa Inggris.
Kemudian Emir Hermono, lagu “3AM In Jakarta” dan “021”pasti sudah tidak asing bagi orang-orang yang mengenali dirinya. Albumnya yang berjudul “3AM in Jakarta”, memiliki beberapa lagu yang berbahasa Indonesia. Saya sendiri memiliki mindset yang merasa canggung saat akan mendengarkan lagu R&B Hip Hop yang berbahasa Indonesia, namun kosa kata yang digunakan oleh Emir Hermono dan artis-artis featuring dalam lagu-lagu tersebut ternyata sama enaknya dengan karyanya yang berbahasa Inggris. Lagunya yang berjudul “Keluh” bersama DJ CZA dan Niska memiliki vibe dan flow Hip Hop yang membuat kaki kita kan bergerak mengikuti beat dari lagu tersebut. Kosa kata yang digunakan dalam lagu tersebut tidak terasa aneh saat didengarkan, dan sesuai dengan beat dari lagu tersebut.
Kemudian “Jauh” bersama OmarKENOBI dan Nadya Tasya Saraswati, diawali dan diakhiri dengan suara percakapan seorang perempuan layaknya yang sering dijumpai di musik-musik lo-fi yang kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang digunakan pun tidak baku, yang membuat saya terkagum karena terkadang penggunaan bahasa gaul seringkali terdengar norak dan tidak pas. Corak R&B sangat terasa dalam lagu ini, meskipun ada beberapa bait yang menggunakan bahasa Inggris, bait hook yang berbahasa Indonesia berhasil terdengar catchy dan tidak ter-outshine bagian rap yang berbahasa Inggris.
Begitupula “Resah” bersama Gard dan Ichu, R&B juga menjadi aliran yang menghiasi lagu ini. Vibe galau berhasil disampaikan melalui permainan nada yang upbeat. Lagu yang bercerita mengenai indahnya mencintai seseorang yang berubah menjadi keresahan karena orang yang dicintai memilih untuk diam tidak terdengar sebagai lagu ‘murahan’ yang asal-asalan karena kosa kata yang digunakan dalam lirik sesuai dengan beat lagu tersebut. Lagu-lagu lain dari “3AM in Jakarta” yang berbahasa Indonesia adalah “Obsessed” dan “Cuma Kamu” juga berhasil membuktikan bahwa Emir Hermono mampu menciptakan musik yang berkualitas dengan menggunakan bahasa lokal. Tetap saja, karya yang masuk kedalam 5 daftar lagu popular dalam profil akun Spotify Emir Hermono adalah lagu yang berbahasa Inggris.
Padahal musik adalah musik, tak peduli bagaimana cara musisi tersebut menyampaikannya. Mungkin selera masing-masing individu berbeda dan ada beberapa musisi yang merasa lebih mampu untuk berkarya menggunakan bahasa inggris. Namun terbukti, westernisasi memiliki kendali dalam bagaimana cara musisi lebih memilih untuk menyuarakan inspirasi mereka dan standar serta cara pandang khalayak mengenai musik. Ayolah, bisakah kita semua menyingkirkan stereotip mengenai bagaimana lirik sebuah musik harus dilantunkan dan mulai menikmati musik manapun tanpa perlu malu karena takut dianggap aneh karena mendengarkan lagu dalam bahasa yang tidak biasa ditemui. Mendengarkan lagu Hip Hop yang berbahasa Jepang tidak akan mengurangi citra keren sebagai ‘mahasiswa indie’ yang ada di dalam diri kamu.
Jika kamu bisa membuka diri pada musik secara seluruhnya, yang menentukan kualitas sebuah musik adalah cara seorang musisi menyusun nada sedemikian rupa agar enak didengar dan makna serta cerita yang bisa disisipkan di dalam karyanya, bukan bahasa yang digunakan dalam lirik karyanya. Coba izinkan mindset bahwa tidak selamanya musik yang berbahasa Inggris itu lebih keren daripada bahasa lain untuk bisa diterima oleh kepalamu. Mau musik yang berbahasa Inggris, Indonesia, Jepang, atau Malaysia, semua akan sama-sama manis untuk didengarkan kok. Step out of your comfort zone, because good music will always be good music!