Ada yang mengganjal rasanya, sesuatu yang dirasa tidak pada tempatnya ketika menghadiri Fisip Folk Festival 2015 –acara musik yang diinisiasi mahasiswa Fisip Unpad– pekan kemarin. Sesuatu yang mengganjal itu adalah kata ‘folk’ yang disematkan pada nama kegiatan mereka. Saya tidak tahu apakah kawan-kawan lain yang mengunjungi Fisip Folk Festival merasakan hal yang sama atau tidak. Sebab meski terkesan bertema folk, bintang tamu yang mereka hadirkan kerap jauh dari tema folk. Terkadang hanya satu dua band yang tampil di Fisip Folk Festival yang benar-benar berakar pada Pete Seeger, Woody Guthrie, Joan Baez atau Bob Dylan. Selebihnya band yang nampak sebatas basa-basi.

Hal ini tentu bukan sesuatu yang baik dalam sebuah kegiatan apresiasi seni, terlebih Fisip Folk Festival merupakan acara tahunan yang seharusnya bebenah diri setiap tahunnya. Karena jika menilik nama acara yang panitia gunakan, maka imaji yang terbentuk di dalam kepala adalah pertunjukan musik folk dengan bermacam-macam jenis musik folk. Namun, yang saya temukan adalah inkonsistensi panitia terhadap tema acara dan ini merupakan sebuah kekeliruan dalam memaknai kegiatan pertunjukan yang sekarang ini nampaknya telah menjadi gejala umum. Juga dalam bentuk ekstrimnya adalah pembodohan kepada khalayak.

Mungkin bagi sebagian orang ini hanya masalah remeh-temeh, dan saya nampak seperti mahasiswa yang kurang kerjaan berkomentar panjang lebar tentang ini semua. Namun, saya memandang ada sebuah tradisi yang coba dilanggengkan di sana. Tradisi membuat kegiatan pertunjukan yang nirmakna dan melompat jauh dari tema yang diusung. Hal yang sama terjadi pada acara Kampoeng Jazz.

Kawan-kawan mahasiswa kini hanya terpaku pada bagaimana caranya mendatangkan pengunjung sebanyak mungkin dan abai terhadap tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. Akhir-akhir ini kebanyakan acara musik dibuat untuk memuaskan hasrat saja, layaknya masturbasi. Memang sebenarnya saya tak dirugikan, karena untuk menikmati Fisip Folk Festival tak dipungut uang tiket masuk. Namun ini bukan perkara untung-rugi, ada perkara yang lebih kompleks yaitu tidak adanya proses kurasi dalam menentukan band mana saja yang berhak dan layak tampil di sebuah pertunjukan akhir-akhir ini.

Meski biasanya ada divisi scouting talent dalam kepanitiaan yang tugasnya tak jauh beda dengan seorang kurator (saya menyebutnya kurator kecil-kecilan), tapi saya tak melihat peran scouting talent dalam Fisip Folk Festival setiap tahunnya. Mungkin panitia Fisip Folk Festival dapat melakukan studi banding kepada panitia Music Festifile dan An Intimacy dalam hal mengkurasi talent. Maka ketika ada band orkes, atau elektrik tampil dalam panggung yang bertemakan folk, nalar saya tersesat mencari-cari jawaban. Apakah pihak penyelenggara yang dalam hal ini divisi scouting talent kehabisan stok musisi folk untuk ditampilkan, atau mereka terpaksa mengikuti selera pengunjung. Jika alasan pertama dijadikan pembenaran rasanya tak masuk akal sebab Bandung yang notabene kota terdekat dari Jatinangor adalah gudangnya musisi folk. Bahkan di kampus Unpad sendiri rasanya band folk macam Deu Galih, Alvin & I, Sky Sucahyo adalah nama-nama yang cukup menjanjikan.

Apabila panitia terpaksa mengikuti selera pengunjung, menurut saya Fisip Folk Festival gagal untuk mengedukasi pengunjung. Kegiatan Fisip Folk Festival seharusnya bisa menjadi acara yang tepat untuk mengenalkan ragam folk. Pertunjukan musik yang mengusung sebuah genre di dalam tema pertunjukannya seharusnya bisa dijadikan momen untuk mengedukasi telinga pendengar, memberikan musik alternatif yang pantas didengar serta memberikan pemahaman kepada pendengar mengenai suatu genre. Sayangnya Fisip Folk Festival dalam tiga tahun ini gagal menunaikan misi tersebut.

Mungkin saya terkesan naïf tapi harus kita sadari bahwa ternyata kebanyakan kegiatan pertunjukan musik digelar hanya untuk mendatangkan massa sebanyak-banyaknya dan mengejar keuntungan. Jika seperti itu maka kegiatan pertunjukan musik yang digelar oleh mahasiswa banyak hanya sekadar gagah-gagahan. Padahal idealnya pertunjukan musik yang digelar oleh mahasiswa apalagi digelar di lingkungan kampus seharusnya dapat menjadi wadah alternatif untuk perkembangan musik sidestream. Selain itu, saya memiliki harapan pertunjukan musik yang digelar oleh kawan-kawan mahasiswa bisa dijadikan referensi bagi event organizer yang terkadang terlanjur terjebak dalam fanatisme pasar, Java Jazz adalah contoh sempurna bagaimana ide besar mereka tentang jazz berakhir di keranjang sampah dihadapan pasar.

Dilla Anbar, seorang kawan musisi juga pemerhati skena musik memperingatkan bawa kita harus berhati-hati dalam mengambil nama dan visual awal dari sebuah event, karena itu merupakan ekspektasi awal pengunjung. Oleh karena itu, harus ada upaya keras untuk membenahi Fisip Folk Festival bagi kawan-kawan di kepanitiaan selanjutnya agar Fisip Folk Festival tak berakhir menjadi pseudo folk belaka.

Oleh: Iksal R. Harizal

Foto: Twitter Fisip Folk Fest