Kebahagian bisa datang dari mana saja, dari bertemu orang terkasih atau sekedar bisa makan nasi. Kebahagian yang hakiki baru saja terjadi kemarin ini, terutama untuk para penikmat musik di daerah Bandung dan sekitarnya. House the House menggelar edisi pertama dari MUSCA, sebuah festival yang menggabungkan musik dan seni dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mencintai ruang publik, khususnya hutan kota Babakan Siliwangi. Acara yang dimulai dari jam tiga sore dibuka oleh penampilan Lizzie yang lantas dilanjutkan oleh Under the Big Bright Yellow Sun. Kondisi jalanan Bandung yang cukup macet tidak mengurangi antusiasme penonton untuk hadir tepat waktu demi menonton penampilan musisi yang ditunggu-ditunggu. Hal tersebut terlihat dari animo penonton saat menyaksikan Float. Band yang sudah lama malang-melintang di scene musik Indonesia ini tampil membawakan lagu-lagu andalannya yang tentu sudah dihafal di luar kepala oleh setiap orang yang hadir. Mendekati lagu terakhir, Float terlihat memasang masker dalam rangka kepedulian untuk saudara di daerah Sumatera yang terkena bencana kabut asap. “Sementara” seakan menjadi pesan serta doa bagi mereka yang mengalami dampak dari keserakahan serta ketidakpedulian oknum tertentu terhadap lingkungan.
Setelah puas bersenandung dan bernostalgia bersama Float, giliran The Fox and The Thieves untuk memanaskan suasana. Dalam penampilannya, the fox and the thieves juga menyelipkan pesan-pesan sarkastik tentang berbagai permasalahan yang terjadi saat ini. Langit yang semakin gelap malah membuat para penonton semakin enggan meninggalkan spot mereka. Giliran band asal Jakarta, Elephant Kind mengajak para penonton berdendang dan bersenang-senang. Lagu-lagu seperti “Scenario II”, “Why Did You Have to Go”, dan “Oh Well” yang ternyata fasih dinyanyikan oleh crowd mengundang rasa bahagia dari setiap personel band yang belum lama ini merilis beberapa single terbarunya.
Akhirnya giliran band yang belum lama ini menggelar konser perilisan albumnya untuk naik ke atas panggung. Penonton yang sudah tidak sabar bahkan ikut menghitung mundur timer yang memang ditampilkan di layar bagi setiap penampil. Barasuara, the word of the mouth. Band yang digadang-gadang menjadi the next big thing ini memulai penampilannya dengan “Tarintih” yang dilanjutkan dengan “Mengunci Ingatan”. Formasi yang lumayan berbeda dengan adanya tambahan keyboardist serta tidak hadirnya Asteriska dan Puti Chitara tidak mengurangi totalitas yang selalu ditampilkan oleh Barasuara. Salah satu hal yang membahagiakan tentunya saat mereka membawakan lagu “Hagia”, lagu yang bahkan membuat Iga Massardi menangis saat membawakannya di konser Taifun. “Nyala Suara”, “Bahas Bahasa”, “Sendu Melagu”, “Menunggang Badai” dibawakan dengan apik tak lupa diselingi oleh candaan dari Iga dan aksi pecicilan Gerald alias GeSit yang mengundang tawa dari penonton. Ratusan mungkin bahkan ribuan penonton yang hadir di arena music stage ikut menyanyikan “Api dan Lentera” yang menjadi lagu penutup dari penampilan Barasuara malam itu. Sampai-sampai teman saya berujar ‘nonton Barasuara rasa Slank!’ pada unggahannya di media sosial.

Malam yang semakin larut malah membuat penonton semakin tersudut. Payung Teduh menutup edisi MUSCA kali ini dengan penampilan sederhana yang terasa megah oleh iringan nyanyian yang keluar dari setiap mulut manusia yang menyaksikan mereka. Tak hanya sekedar kebahagiaan yang diberikan MUSCA hari itu, tetapi juga kesadaran untuk terus menjaga hutan kita yang merupakan paru-paru kota. Sebuah inisiasi yang diharapkan dapat menjadi awalan sebuah marathon aksi untuk bumi ini menjadi bukti bahwa masih banyak orang yang peduli dalam revitalisasi lingkungan. Terimakasih MUSCA untuk kebahagiaan sederhana di tengah hutan kota, semoga menjadi inspirasi bagi setiap insan untuk mulai beraksi bukannya hanya berkoar tanpa melakukan apa-apa.
Foto: Dokumentasi MUSCA
Haruka Fauzia