Jogja Noise Bombing (JNB) merupakan sebuah komunitas terbuka bagi para pelaku musik noise di Kota Yogyakarta. Mereka berfokus pada eksperimental audio, harsh noise, ambient, dan drone music, serta pembuatan alat dan instrumen musik noise secara mandiri. Komunitas ini mengadakan pesta super bising bertajuk Jogja Noise Bombing Festival 2019 yang merupakan perhelatan berisik tempat berkumpulnya manusia-manusia penggila musik noise, diadakan pada tanggal 26 dan 27 Januari 2019.
Jogja Noise Bombing Festival 2019 yang berlangsung selama dua hari berturut-turut terbagi menjadi tiga sesi, noise bombing di Malioboro, peluncuran dan diskusi buku Jogja Noise Bombing: From The Street to The Stage di Indonesian Visual Art Archive (IVAA), dan diakhiri pertunjukkan musik noise di Amphitheater Taman Budaya Yogyakarta. Acara ini melibatkan para pelaku noise dari berbagai negara, antara lain Jepang, Perancis, Jerman, Brasil, Korea Selatan, Italia, Spanyol, Kanada, Malaysia, Singapura, Serbia, USA, Siberia, dan tentunya Indonesia.

Matahari Yogyakarta bersinar cerah pada hari pertama, seakan turut menyambut perayaan ini dengan semangat. Sekitar jam dua siang, noise bombing dimulai di area Patung Singa Malioboro dan dibuka dengan manis oleh penampilan Bergegas Mati, Karnivulgar, dan Giga Destroyer asal Indonesia. Setelah melakukan pembukaan di spot pertama, teman-teman JNB melanjutkan perjalanan sembari mencari area-area di Malioboro dengan outlet listrik terbuka untuk dijadikan spot berikutnya. Sesi noise bombing ditutup di area Titik Nol Yogyakarta dengan penampilan magis dari Naoto Yamagishi asal Jepang yang mengeksplorasi bunyi-bunyi dari snare drum.
Masih di hari yang sama, sesi berikutnya dimulai sekitar jam tujuh malam di IVAA. Cukup banyak orang yang menghadiri acara peluncuran dan diskusi buku Jogja Noise Bombing: From The Street to The Stage, yang membuat IVAA menjadi ramai dan penuh dengan kehangatan. Sesi diskusi dipandu oleh Titah Asmaning dari Warning Magz selaku moderator dan menghadirkan kedua penulis buku yaitu Indra Menus dan Sean Stellfox, serta Azzief Khaliq sebagai penyunting buku. Setelah diskusi selesai, acara pada malam itu ditutup dengan penampilan-penampilan dari Mahamboro, Tesla Manaf, Eira, Made Dharma asal Indonesia dan Pierre Pierre Pierre asal Perancis.

Hujan membasahi Yogyakarta pada hari kedua, tetapi tentu saja hal ini tidak menjadi penghalang untuk datang menuju Amphitheater Taman Budaya Yogyakarta. Karena menunggu hujan reda, saya datang terlambat sehingga melewatkan beberapa penampilan pembuka. Malam itu saya disambut dengan noise set berintensitas tinggi dari Yapok Yakutia asal Siberia. Ia mengawali dengan permainan efek distorsi yang ekstrem, dan dilanjutkan dengan gemuruh petikan-petikan gitar yang garang.
Penampilannya membuat saya berekspektasi bahwa malam ini akan epik. Lalu, ekspektasi saya langsung terpenuhi di penampilan berikutnya yaitu kolaborasi gila antara PGR asal Italia dan SitbQ asal Korea Selatan. Hanya ada kebisingan dan kekacauan, para penonton pun berpesta di area moshing.
Satu momen menarik muncul ketika meja noise set Bomi dari SitbQ rusak dan sebagian penonton berinisiatif untuk “menolong” Bomi dengan bersama-sama mengangkat meja agar dia dapat terus memainkan noise setnya. Sementara PGR justru menaiki meja noise setnya sembari tetap memainkan instrumen rakitannya, mengeluarkan bunyi-bunyi tak beraturan yang mengganggu.
Penampilan favorit lainnya adalah kolaborasi gokil dari Tenggara Trio dan Darren Moore asal Indonesia, Malaysia, Singapura. Penampilan mereka benar-benar bukan komposisi yang tepat bagi penggemar melodi yang manis. Distorsi membabi buta yang saling bertumpuk, bunyi raungan saksofon yang terus menjerit sakit, serta gebukan drum bertenaga dari mereka membuat suasana makin panas. Kolaborasi ini adalah manifestasi dari improvisasi dalam bermusik.
Penampilan Yuko Araki asal Jepang juga termasuk yang menarik perhatian saya. Melalui permainan harsh noise, Yuko memperlihatkan sensitivitas yang tinggi di dalam mengolah bunyi-bunyi yang sangat berat dan padat.
Hingga akhirnya sajian pamungkas pun datang, adalah JagaJaga asal Bali yang menjadi pengacau terakhir malam itu. Dia berhasil membuat suasana kacau balau. Bagaikan amarah yang tak terkendali, JagaJaga mengamuk dan menghajar telinga penonton sekeras mungkin. Memainkan berbagai kombinasi bunyi lewat perangkat audio rakitan dan efek-efek manipulasi dengan membabi buta. Hasilnya adalah suara-suara bising yang penuh kejutan. Berisik tanpa ampun, moshing tanpa henti, JagaJaga menutup acara dengan ganas.
Rangkaian acara Jogja Noise Bombing Festival 2019 sangatlah berkesan bagi saya, menjadi awal perkenalan saya dengan genre musik noise. Genre yang menurut saya keras, tidak biasa, ekspresif, dan menarik.
Ditulis Oleh: Yanuar Banu Herastanto
Foto Oleh: Alni Widayanti