Di tengah- tengah keramaian event raksasa di kampus- kampus ternama, mungkin sebuah hal yang memilukan saat kita ketahui bahwa musisi dari kampus itu sendiri yang jadi kalangan minoritas. Saya teringat beberapa bulan lalu gilanada.com menaikkan salah satu artikel opini yang ditulis oleh Bung Iksal. Salah satu pengamat musik, atau mungkin enlighted fans seperti yang dikatakan oleh Jopie Tambajong alias Remy Sylado, eks- wartawan Aktuil yang juga pelopor puisi mbeling sekaligus pelantun lagu ‘Jalan Tablong’ ini. Dalam artikel tersebut, Bung Iksal memaparkan tentang bagaimana acara Fisip Folk Fest menawarkan satu hal yang ia anggap sebagai sebuah pseudo- folk atau folk yang penuh kepalsuan.
Mengutip dari Michel Foucault dalam pengantar karyanya berjudul “Knowledge and Methods”, filsuf kontemporer Perancis ini mengatakan bahwa inilah saatnya tanda berbicara. Seperti yang ia katakan, “saat tanda dan makna sudah mendapatkan maknanya maka kita cukup hanya menutup mulut”. Ya, bahasa menawarkan makna yang sempit termasuk penyebutan folk itu sendiri. But, that’s not the point, saya kira akar permasalahan di sini bukan Cuma sekadar bagaimana kita tak bisa memaknai folk itu sendiri, melainkan bagaimana kenyataannya kita tak bisa memaknai event dan eksistensi acara tersebut secara menyeluruh.
Dalam konteks ini, mungkin saya perlu mengingatkan kembali bahwa tajuk rencana ini akan terbit bulanan dan untuk bulan ini sendiri tentu kita tak akan melewatkan salah satu event akbar yang ‘mungkin’ akan ditunggu- tunggu oleh orang- orang dari skena musik, baik itu musik korporat ataupun musik indpenden yang sebentar lagi naik pangkat jadi musik korporat; Hari Musik Nasional. Yap, berdasarkan Keputusan Presiden nomor 10 Tahun 2013, 9 Maret ditetapkan sebagai Hari Musik Nasional atau mungkin lebih tepatnya untuk mengenang pencipta lagu kebangsaan kita, “Indonesia Raya”, Wage Rudolf Supratman
Melihat segmentasi yang berasal dari kalangan mahasiswa, tentu saja kita tak bisa melepaskan begitu saja korelasi antara musik dengan kehidupan mahasiswa itu sendiri. Ya, kenyataannya seperti perkataan Nietzsche, “Without music, life would be a mistake” dan mungkin hal yang sama juga saya jadikan quotes untuk mahasiswa sendiri. Melihat kenyataan yang terjadi dewasa ini, banyak dari mahasiswa (terutama di kampus saya sendiri) yang mengadakan event tanpa mengikutsertakan musisi ‘pribumi’ sendiri.
Kenyataannya tak dapat disangkal lagi bahwa apabila melihat feature Rolling Stone beberapa bulan lalu yang menyangkut College of Rock yang di dalamnya terdapat Universitas Indonesia dengan Payung Teduh, Univesitas Gadjah Mada dengan Frau ataupun Melancholic Bitch, ITB dengan Sigmun dan ‘Kamis Kobra’-nya serta masih banyak lagi.
Menyikapi hal tersebut, selama satu bulan ini Gilanada.com akan mengeksplorasi lebih jauh tentang skena musik kampus. Dalam hal ini, kami akan menyuguhkan hal- hal menarik yang sedianya menunjukkan bahwa mahasiswa di tengah kesibukannya mampu untuk terus berkarya yang tentunya berkualitas. Selain itu, kami juga tak akan melupakan berbagai sejarah mengenai musik dan mahasiswa karena pada kenyataannya, musik dan mahasiswa bagai dua sisi koin, berbeda tapi tak bisa dilepaskan. Selamat menikmati. Terima kasih. 🙂