Setelah melewati ulang tahunnya yang pertama, puji syukur rasanya kami ingin ucapkan ke hadirat tuan yang membuat website. Gilanada kali ini berhasil melewati tantangan di tahun pertamanya menjelang tahun senjakala palsu yang kedua setelah 2012 lalu ditipu mentah-mentah dengan film yang berjudul sama. Tahun 2015 adalah tahun yang unik bagi kami, siapa sangka di awal tahun kami digemparkan dengan berita ditutupnya Disc Tarra hampir di 40 kota besar di Indonesia, musibah terbesar lain yang mungkin akan dihadapi setelah kiamat kedua versi Kenji Endo dalam serial 20th Century Boys. Namun, hal tersebut dirasa kurang berpengaruh bagi kami mengingat kecintaan kami terhadap musik bukan pada ’sahabat’ seperti di film tersebut.
Musik tahun 2015 bila didefiniskan dalam satu frasa, adalah alter ego. Ya, pada tahun ini kita dipertemukan dengan munculnya band-band baru yang didominasi oleh pekerja skena lama di belantika musik Indonesia mulai dari sana mungkin akan terlintas di kepala kita nama-nama seperti Barasuara, Stars and Rabbit, Lefty Fish, Polka Wars, hingga Netral yang kini memainkan Electronic Dance Music.
Meski begitu, hal ini tak bisa menghalangi kemunculan musisi baru atau musisi yang masih berkutat di band yang sama. Tahun ini juga menawarkan musik baru yang diwarnai oleh berbagai konser tunggal dari band-band ternama. Ah, rasanya terlalu panjang untuk membuat kaleidoskop musik di tahun 2015 ini. Oleh karena itu, Gilanada merangkumnya ke dalam 5 terbaik versi kami.
1. Barasuara – Taifun
“Waktu yang kau tahu. Waktu yang berlalu. Ingatmu kau merayu. Ingatnya kau berlalu. Sendu Melagu”. Petikan lirik lagu “Sendu Melagu” tersebut adalah salah satu maha karya Barasuara di album perdananya, Taifun. Lagu ini juga sempat dinyanyikan bersama Efek Rumah Kaca saat pagelaran Artwarding Night. Lirik lagu bahasa Indonesia yang puitis nan syahdu tersebut dengan mudah lekat di benak para pendengarnya. Begitupun lagu-lagu lainnya ditulis menggunakan bahasa Indonesia. Wajar bila setiap pentas, penampilan Barasuara sering dihujani nyanyian massal.
Sebelum album Taifun rilis, Barasuara sudah menjadi buah bibir di kalangan pecinta musik lokal. Tak heran, tiket pesta peluncuran album pertama Barasuara habis terjual dalam waktu singkat. Album yang berisi sembilan buah lagu ini pun berhasil mencuri perhatian publik dengan nada-nada magis nan segar bercampur dengan meriahnya tabuhan drum serta semakin elok dengan hadirnya suara merdu dua biduanita, Puti Chitara dan Asteriska.
Tidak dapat dipungkiri, album Taifun mampu mengundang badai untuk skena musik lokal tahun ini. Penantian sabar para penggemar pun dibayar lunas dengan suguhan yang membara bak “Api dan Lentera”. Aransemen lagu yang megah dan harmoni menjadikan album karya band asal ibu kota ini tak dapat dilewatkan apalagi dilupakan.
2. Polka Wars – Axis Mundi
Album perdana kuartet rock asal Jakarta ini pantas menempati urutan kedua album lokal terbaik tahun ini. Pasalnya Axis Mundi mampu membawa pendengarnya masuk ke ruang gema penuh kejutan. Setiap lagu diaransemen dengan matang dan padu. Berbagai instrumen sengaja dihadirkan demi menghasilkan sebuah karya yang indah dan berwarna. Alunan setiap lagunya tidak tertebak, kadang sebelum reff berhenti masuk suara gitar, atau kadang lagunya dibawakan dengan aransemen berbeda saat penampilannya. Axis Mundi menawarkan berbagai kejutan di dalamnya.
Single pertama “Mokele” langsung menggaet pecinta musik independen sampai dibuat ketagihan. Lagu ini dibuka dengan riff gitar yang kering berpadu dengan suara vokal unik dari Karaeng. Selain Aeng, Deva juga turut bernyanyi untuk beberapa lagu seperti pada lagu “Alfonso” dan “Lovers”. Para punggawa Polka Wars memang sering bergantian memainkan alat musik: Deva bisa tiba-tiba nyanyi, Dega bermain gitar, Billy menabuh drum, sampai Aeng pun kadang bermain piano.
Dua konser tunggal Polka Wars di Jakarta dan Bandung membuktikan keseriusan mereka dalam menyebarkan album perdananya ini. Setiap konser dibuat dengan konsep yang berbeda dan matang, tidak hanya sekadar tampil. Hasilnya pun penonton puas menyaksikan Polka Wars yang tampil memukau di atas panggung. Keseriusan Polka Wars mengerjakan materi lagu dan konsernnya membuat kita tak punya alasan untuk tidak mendengarkan Axis Mundi.
3. Sigmun – Crimson Eyes
Album full length pertama dari kuartet psikedelik asal Bandung, Sigmun. Setelah debut pertamanya di tahun 2011, band yang digawangi oleh Haikal, Nurachman, Mirfak, dan Tama ini berhasil merampungkan karya terbaiknya di 2015. Mengambil latar belakang padang pasir, album bertajuk Crimson Eyes ini akan membawa pendengarnya ke dalam nuansa surealis di tengah gurun Mesir.
Dari segi musikalitas, album ini menawarkan racikan baru dari Sigmun. Setelah berkutat dengan gaya stoner ala Electric Wizard yang dikolaborasikan dengan tempo garage Graveyard di album MMXII dan experimental ala Sleep di album Cerebro, grup yang mengambil nama bapak psikoanalisis Sigmun Freud ini justru kembali ke akarnya yakni musik psikedelik rock ala Black Sabbath di era Dehumanizer atau Paranoid. Hal ini terlihat jelas mengingat Sigmun memberikan petunjuk pertamanya lewat single bertajuk “Ozymandiaz” yang ditujukan kepada Prince of Darkness, Ozzy Osbourne.
Meski demikian, Sigmun tak serta merta menunjukkan perubahan yang signifikan ini, dilihat dari susunan musik, mereka membuka album ini dengan track bertajuk “In The Horizon” serta “Vultures” yang mengingatkan kita pada debut pertama mereka di MMXII. Tempo cepat nan menghentak ala Black Sabbath mulai terlihat pada lagu “Halfglass Full of Poison”, Devil in Disguise”, hingga gubahan lagu andalan mereka “Aerial Cheateau”, dan ”Ozymandiaz”. Urutan musik yang upbeat, suara yang lebih jernih, serta tempo yang lebih menghentak ini seolah menunjukkan identitas Sigmun yang siap bertransformasi sehingga wajar saja apabila album ini mendapat banyak respon positif di penghujung 2015 ini.
4. Efek Rumah Kaca – Sinestesia
Album baru dari Efek Rumah Kaca setelah tujuh tahun lamanya ini menjadi kejutan manis nan sinematis bagi penikmat musik lokal di penghujung tahun 2015. Sinestesia yang merupakan metafora berupa ungkapan terjalinnya dua indra atau lebih bukan hanya menjadi hadiah bagi para penggemar, tetapi juga didedikasikan khusus untuk pembetot bass mereka, Adrian Yunan Faisal.
Masing-masing lagu yang diberi judul dengan fragmen warna ini merupakan gabungan dari dua sampai tiga lagu dengan durasi yang cukup panjang. Lirik khas Efek Rumah Kaca yang kritis nan puitis menyadarkan kita akan permasalahan yang sedang terjadi dan tidak ada habisnya. Dalam “Jingga”, terdengar seseorang menyebutkan nama-nama korban hilang dalam tragedi Mei ’98, dalam “Merah” politik dibilang amis dan najis, dalam “Kuning” secara tersurat Efek Rumah Kaca mengomentari persoalan tabu dalam kehidupan bermasyarakat, sebuah album magis yang tentunya menjadi salah satu rilisan album lokal terbaik tahun ini.
“Biru” dan “Putih” yang sudah lebih dulu dirilis pertengahan tahun ini seakan menjadi appetizer sebelum main course mengenyangkan dengan Sinestesia. Tidak puas dengan hanya menyediakan appetizer dan main course, Efek Rumah Kaca juga akan menyediakan dessert berupa konser tunggal bertajuk Sinestesia pada 13 Januari 2016 mendatang.
5. Kelompok Penerbang Roket – Teriakan Bocah
Teriakan Bocah yang berisi tujuh lagu bernuansa rock alternatif era 70-an ini menjadi pembeda dari sekian banyaknya rilisan album di tahun 2015. Suara efek vokal yang menggaung, distorsi gitar dan gebukan drum yang nyaman di telinga, juga lirik yang tanpa basa-basi menjadi kesatuan yang pas dari band yang satu ini.
Dari lagu “Anjing Jalanan” hingga lagu terakhir “Mati muda” sarat akan pesan sosial yang diselipkan dari setiap kata-katanya dan dibalut dengan pemilihan diksi yang sederhana dan mudah dimengerti. Seperti lirik lagu “Di Mana Merdeka” yang berbunyi, “Banyak yang bilang berbeda, tapi tetap sama. Banyak yang ingin merdeka, tapi sementara. Di mana mereka, mereka yang beda. Apa masih ada yang merdeka”. Lagu ini seperti menanyakan kembali fungsi dari para pemuda yang memang harus menjadi pembeda dan juga menjadi penggerak layaknya para pemuda yang menggagas kemerdekaan Indonesia.
Munculnya Teriakan Bocah menjadi sinyal bahwa rock era 70-an belumlah mati, mereka masih ada di dalam relung pemuda masa kini, seperti Kelompok Penerbang Roket (KPR). Band yang mengusung aliran rock alternatif era 70-an mungkin banyak, tetapi tidak semuanya mendulang kesuksesan atau perhatian yang lebih dari penikmat musik di Indonesia. Namun, KPR merupakan satu dari banyaknya band yang berhasil membungkus karyanya dengan musik rock era 70-an itu. Jika diibaratkan, KPR itu adalah bocah yang lagi teriak. Saking nyaringnya, teriakan itu terdengar oleh semua orang saat ini. Teriakan itu mereka kemas lewat albumnya yang bertitel Teriakan Bocah.
Selain kelima album di atas, masih ada satu album yang dosa rasanya jika tidak dimasukan ke dalam album lokal terbaik tahun ini, yaitu album Dosa, Kota, & Kenangan dari Silampukau. Tidak perlu dijelaskan dengan detail, semua yang mendengarkan album ini akan merasa seperti diajak berkeliling Surabaya. Setiap liriknya ditulis dengan kekuatan penuh oleh Eki Trisnowening dan Kharis Junandaru, semuanya tentang kota pahlawan yang penuh dengan lika-likunya. Sebuah album yang personal dengan cita rasa lokal ini rasanya pas menemani kalian yang sedang bersantai di rumah dengan secangkir teh.
Sebenarnya masih banyak lagi rilisan lokal yang patut didengarkan dan diapresiasi tinggi seperti Hobglobin dari Sajama Cut, Sembojan dari Tigapagi, Constellation dari Stars and Rabbit, Los Skut Leboys dari Sore, Sabdatanmantra dari Ramayana Soul, Anak Sungai dari Deugalih & Folks, Elemental dari Elemental Gaze, Alam Raya dari Rayhan The Daydreamers, dan masih banyak lagi. Karena pada dasarnya, setiap karya yang lahir adalah sebuah anugerah yang harus dinikmati dan disyukuri. Namun keterbatasan ruang, waktu, serta selera musik yang berbeda di antara redaksi Gilanada, akhirnya kami sepakat memilih kelima album tersebut. Akhir kata, Selamat menyongsong hari yang baru!
Ditulis oleh: Julian R, M. Rasyid Baihaqi, Novandy F., Puja Nurkholifah