Merangkum masa kedalam sebuah extended play, adalah langkah yang pasti. Begitulah komentar pertama saya bagi “A Cup Of Us” yang disajikan One Last Dinosaur pada 4 Agustus 2024 kemarin. Diinisiasikan oleh hasrat para personil untuk menuangkan cerita personal dalam sebuah cangkir, empat trek dalam EP ini hadir begitu hangat sekaligus menggelitik pada beberapa bagian.

Sebelum jauh membahas rilisan ini, kita perlu mengenal One Last Dinosaur. Band ini sejatinya datang dari sebuah projek tunggal Padil (Synth) dan kemudian disempurnakan oleh Tricia (Vokal), Galang (Vokal, Gitar Ritme), Hakim (Gitar Lead), Raihan (Bass), dan Artha (Drum) sebagai line-up lengkap One Last Dinosaur. Dengan mengusung nama panggung yang hampir serupa dengan sebuah band dari australia, One Last Dinosaur memaknai diri mereka sebagai “dinosaurus terakhir” yang berusaha meninggalkan jejaknya di dunia kampus untuk melangkah maju dalam kisah baru. Dengan usungan musik enerjik berbau Indie/Power-Pop, para dinosaurus kelahiran Jatinangor ini mengusahakan karya yang emosional, ringan, naif, sekaligus reflektif. 

Bukan tanpa alasan saya memilih padanan kata aneh diatas, karena empat kata tadi adalah bagaimana saya mengecap setiap detil karya yang ada. Oleh karena itu, mari kita perlahan mencerna setiap rasa yang sudah/akan dicicip bersama.

Girl, why do we still nod our head yes
Love’s not as pretty as what daddy said
Break up, I cried, sweet talk, and I’m back in your arms

Pada tangga teratas kita dihantar oleh Untitled. Bercerita tentang insekuritas dan validasi seorang perempuan adalah adalah premis pembuka yang sangat menjanjikan dalam pandangan saya. Selain itu, pembawaan vokal feminim yang menemani sedari awal, mempertebal pengalaman emosional yang rasa-rasanya membawa saya dan mungkin kamu terlarut.

(Aurelia) She throw a Jameson to my face
(Aurelia) Wish I could take you to my place

Berangkat pada trek Aurelia, kedalaman emosional yang coba dibangun kini justru merambat naik menjadi dangkal. Jujur saja trek ini membawa saya pada titik yang sedikit awkward. Pada satu sisi saya sangat menyukai Aurelia oleh karena vulgarnya bahasa yang digunakan. Akan tetapi, sisi lain dalam diri saya justru seperti melempar Jameson yang menyasar muka saya. Dari eksploitasi bahasa yang digunakan oleh One Last Dinosaur justru makin menimbulkan ambiguitas dalam menerjemahkan cerita yang terjadi. Dalam benak saya, Aurelia adalah sebuah rasa sepat yang membangunkan saya lalu memaksa saya berpikir kembali, apakah itu adalah benar-benar rasa yang hendak tersaji?

Yang ku mau engkau tahu (berikan sinyal hijau)
Jadikan kita trus melaju
Tolong Gusti, Aku Frustasi

Jika Aurelia adalah kantong udara yang membangunkan saya menuju dangkalan, maka Tolong Gusti Aku Frustasi merupakan dangkalan tersebut. Dibintangi oleh berbagai lirik deskriptif yang semakin menggelitik, nomor ini adalah zona dimana semua terbalut warna cerah yang merona. Akan tetapi, dengan spektrum yang hampir serupa dengan trek sebelumnya, nomor ini justru terkesan sebagai perwujudan nyata dari frustasi yang coba dibicarakan. Saya berani bilang rasa frustasi disini benar-benar sampai baik disengaja maupun tidak.

I’m here waiting for you 
’till I burn my last cigarette 
when I know you won’t be coming anyway.
I left the porchlight shining
Wish you miss me too

Diantara kebingungan saya menafsirkan tentang EP ini, Porchlight hadir seperti secercah cahaya penuntun. Dengan kembali menggunakan bahasa asing sebagai lirik utamanya, Porchlight adalah sebuah rasa yang melengkapi gairah masa kuliah One Last Dinosaur. Hemat saya, lagu ini bercerita akan pupusnya cinta berbalutkan naifnya harapan sebagai sajian kisah klasik masa muda One Last Dinosaur. Secara isi saya tidak akan memberikan komentar lebih lanjut karena berdasarkan outru yang begitu panjang, lagu penutup ini benar-benar seperti penutup halaman dari rangkuman diary kehidupan kuliah para dinosaurus. Bersamaan dengan itu Porchlight sekaligus menghantarkan saya pada sebuah kesimpulan. 

Gres adalah kata yang sedari tertahan oleh jemari saya untuk dituliskan. Kata ini secara spesifik saya tujukan kepada empat nomor pada A Cup Of Us oleh penyajiannya yang terkesan segar dan personal, tetapi belum cukup matang. Kelap-kelip warna instrumental yang terlintas rasa-rasanya mampu memaafkan ketimpangan lirik yang ada. Oleh karena penyelamatan ini jugalah, secangkir cerita murah ini dinilai valid untuk melebuhkan rasa di dalamnya. Sampai sini saya berani berkata jika One Last Dinosaur sangat mampu menciptakan indie/power-pop sebagaimana indie/power-pop itu terdengar. Sungguh wahana perisa yang menyenangkan.Bagi kamu yang ingin menertawai, merayakan, dan berefleksi akan kehidupan masa kuliahmu, kini A Cup Of Us telah tersedia di berbagai platform DSP kesayangan!

Secangkir Kitaaa ^-^